Dan barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar. Dan memberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.
Dan barang siapa bertawakal kepada Allah niscaya Dia akan mencukupkannya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Sababun Nuzul Ayat
Para Mufasir berkata, “Ayat ini bermakna umum, dan
diturunkan mengenai Auf bin Malik Al-Asyja’i yang anaknya ditawan kaum
musyrikin. Ia datang mengadukan masalahnya kepada Rasulullah saw. Ia berkata, “Sesungguhnya
musuh telah menawan anakku hingga ibunya bersedih, apakah yang hendak anda perintahkan
kepadaku? “ Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Bertakwalah engkau kepada Allah
dan bersabarlah. Aku perintahkan engkau dan istrimu memperbanyak ucapan lahaula
walaquwwata illa billah”. Ia pun dan istrinymelakukannya. Ketika ia sedang di
rumahnya, tiba-tiba anaknya mengetuk pintu datang sambil membawa seratus ekor
unta yang terlalaikan oleh musuh.” Tafsir Al-Qurtubi, XVII
Tafsir Ayat
Kedua ayat di atas merupakan jumlah i’tiradiyyah yang berada
di tengah-tengah rangkaian ayat yang mengatur masalah talak. Disyari’atkannya
segala aturan termasuk hukum talak, semata-mata hanyalah untuk kemaslahatan
manusia. Oleh karena itu, siapa yang bertakwa kepada Allah ketika menegakkan
hukum-hukum syariat termasuk di dalamnya talak, maka Allah swt adakan baginya
jalan keluar dari masalah sesulit dan seberat apapun, dan memberikannya rezeki
yang barakah walau terkadang dari arah yang tidak disangka-sangka serta dari
jalan yang tidak terpikirkan sebelumnya. Kemudian siapa yang bertawakal kepada
Allah, setelah ia berusaha semaksimal mungkin dengan mengarahkan segala daya
dan upaya yang dimilikinya, ia ridha dan qana’ah dalam menerima dan memahami
kenyataan yang ditetapkan baginya, hidupnya akan tercukupi walau dengan sedikit
dan sekecil apapun bagian yang ditetapkan Allah kepadanya.
Sesungguhnya Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Ubay
bin Ka’ab mengenai takwa,Ubay balik bertanya kepadanya. “tidak pernahkah anda
melewati satu jalan yang penuh duri?” Umar menjawab, “Ya, aku pernah”. Tanya
Ubay lagi, “Apa yang anda lakukan?” Jawab Umar, “Saya waspada dan
bersungguh-sungguh”. Ubay berkata, “Itulah takwa”. Tafsir Ibnu Katsir, I:39
Dari dialog diatas, dapat diambil pelajaran bahwa hakikat
dari takwa adalah kehati-hatian, kewaspadaan, dan kesungguh-sungguhan dalam
menjalani kehidupan di dunia ini dengan segala peraturannya, baik buruknya,
benar salahnya, dan halal haramnya. Bagaikan orang yang melewati satu jalan
yang penuh dengan duri, sudah barang tentu untuk sampai ke tempat tujuannya
dengan selamat, ia harus berhati-hati dalam menempuh jalan tersebut, jangan
sampai terpeleset dan terluka karenanya. Begitu pun untuk mencapai mardhotillah
setiap orang harus waspada dalam menjaga batasan-batasan Allah, dan kalau
mereka terperosok sampai melanggarnya, tujuan hidup tersebut tidak akan
tercapai. Untuk menjaga kehati-hatian tersebut, sampai-sampai Rasulullah saw,
bersabda, “seorang hamba belum sampai pada derajat muttaqin sehingga ia
meninggalkan sesuatu yang sebenarnya tidak apa-apa tetapi ia khawatir terjadi
apa-apa. (HR. Tirmidzi)
Takwa yang sebenar-bernarnya merupakan bekal untuk mencapai
keselamatan dari berbagai kesulitan di dunia, akhirat, dan ketika datangnya
kematian.
Dan menjadi penyebab datangnya rezeki yang baik, halal,
luas, dan tidak diduga.
Ada beberapa arti untuk memaknai “rezeki yang tak terduga”. Pertama,
rezeki itu diberikan lebih banyak dari hak sebenarnya. Kedua, rezeki itu
diberikan dengan tidak diambil kembali. Ketiga, rezeki itu diberikan dengan
tidak mungkin seorang pun mampu menghitungnya. Keempat, rezeki itu diberikan
dengan tidak melalui kesulitan. Kelima, rezeki itu diberikan lebih banyak dari
yang diperhitungkan. Keenam, rezeki itu diberikan melalui kemaslahatannya bukan
menurut keperkuannya. Ketujuh, rezeki yang diberikan kepada mukminin dengan
tidak dihisab. Dan kedepalan, balasan Allah pada mukminin pada hari kiamat yang
tidak seukuran mereka tetapi jauh lebih banyak dari itu. Almufrodat fii ghoribil quran: 116.
Bertawakal kepada Allah bukanlah jaminan akan sepenuhnya
segala kebutuhan dan terlepas dari segala kesulitan, karena untuk segala
sesuatu Allah telah menetapkan ketentuannya. Akan tetapi Allah SWT akan melebihkan
orang yang bertawakal dibanding dengan yang tidak bertawakal kepadaNya dengan
mengampuni segala kesalahannya dan memberi pahala atas segala usaha yang pernah
ditempuhnya. Karena yang Allah nilai bukanlah akhir dari suatu kenyataan,
tetapi kebaikan apa yang pernah diperbuat dalam proses menuju kenyataan
tersebut. Rasulullah saw bersabda, “siapa yang ingin menjadi manusia yang
paling kuat, hendaklah ia bertawakal kepada Allah. Siapa manusia yang ingin
menjadi paling kaya, hendaklah mempercayai apa yang ada di tangan Allah
dibanding dengan yang ada di tangannya sendiri. Dan siapa yang ingin menjadi
manusia yang paling mulia hendaklah ia bertakwa kepada Allah.” (HR. Ibu Abi
Hatim).
sumber: planetmodis.com
sumber: planetmodis.com